Secara Lughah (Etimologi), khusyu' berarti rendah diri atau mendekati rendah diri. Menurut pengertian ini, khusyu' itu terdapat pada suara, penglihatan, ketenangan dan kerendahdirian. Sedangkan pengertian khusyu' menurut syara' (terminologi) adalah rendah diri. Rendah diri ini kadang-kadang berada dalam hati dan kadang-kadang berasal dari anggota tubuh seperti diam. Adapun dalil yang menguatkan bahwa khusyu' itu pekerjaan hati adalah hadis Ali ra, "Khusyu' itu berada dalam hati" (HR. al-Hakim), hadis: "Sekiranya sanubari hati orang ini khusyu, niscaya anggota tubuhnya menjadi khusyu", dan hadis do'a mohon perlindungan: "....dan aku mohon perlindungan kepada-Mu dari sanubari hati yang tidak khusyu." Apakah khusyu' dalam salat itu wajib?
Dalam masalah ini, ulama berbeda pendapat. Menurut al-Ghozali khusyu' itu wajib. Beliau menguraikan argumentasinya secara panjang lebar -untuk menguatkan pendapatnya- dalam kitab 'Ihyaa' Ulumuddin'. Akan tetapi, menurut Jumhur Ulama', khusyu' itu tidak wajib. Bahkan, Imam an- Nawawi mengklaim adanya Ijma' yang tidak mewajibkan khusyu'. Hadis-Hadis yang Menganjurkan Seseorang agar Berlaku Khusyu' dalam Salatnya Dari Abu Hurairah ra berkata, " Rasulullah saw melarang seseorang meletakkan tangannya pada lambungnya" (HR. al-Bukhari dan Muslim, sedangkan redaksi (lafal) hadis berasal dari Imam Muslim (wallafdzu li Muslimin). Maksud dari larangan hadis tersebut adalah hendaknya seseorang tidak meletakkan tangan, baik yang kiri maupun yang kanan, pada lambungnya ketika dia sedang melakukan salat, sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar al- Asqalani terhadap hadis tersebut. Kemudian, apa hikmah dari larangan itu? Maka dalam hal ini Rasulullah saw menjelaskannya dalam hadis yang diriwayatkan Aisyah ra, "Bahwa hal itu adalah pekerjaan orang Yahudi dalam salat mereka" (HR. al-Bukhari). Sebab, umat Islam itu dilarang keras untuk menyerupai orang-orang Yahudi dalam semua gerak- gerik mereka. Dari Anas ra bahwa Rasulullah saw bersabda, " Apabila hidangan makan malam telah disiapkan, maka mulailah menyantap makanan itu sebelum anda salat Maghrib" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis tersebut menurut Jumhur Ulama' menunjukkan sunnahnya mendahulukan makan malam atas salat. Karena, hal itu akan bisa mengarahkan seseorang berkonsentrasi dalam salatnya. Bahkan, menurut ulama yang lain, agar sanubari hati itu tidak tergoda dengan makanan yang sudah tersediakan tersebut.
Di samping itu, ada beberapa atsar sahabat yang menjelaskan tentang ta'lil (sebab- musabab) dilarangnya mendahulukan salat ketika makanan sudah dihidangkan. Di antaranya adalah atsar yang dikeluarkan oleh Ibnu Abu Syaibah dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, "Bahwa keduanya pernah sedang makan, sementara di dapur api (kompor)nya masih terdapat daging yang sedang dibakar, lalu sahabat yang melakukan adzan tersebut ingin melakukan iqamah untuk salat, tiba- tiba Ibnu Abbas berkata kepadanya: 'Jangan terburu- buru', kita tidak melakukan salat selama dalam hati kita masih ingat sesuatu (makanan)." Dalam riwayat yang lain disebutkan: "Supaya (makanan itu) tidak memalingkan perhatian kita dalam salat." Disebutkan pula dari Hasan bin Ali as bahwa dia berkata, "Makan malam sebelum salat itu bisa menghilangkan (meredam) jiwa yang suka mencela (an- Nafs al- Lawwaamah)." (HR. Ibnu Abu Syaibah) Jika waktu salat tinggal sedikit, apakah disunnahkan pula mendahulukan makan atas salat? Kesunnahan seperti itu dilakukan apabila waktu salat masing panjang. Namun, jika waktu salat tinggal sedikit, maka menurut Jumhur Ulama', dia mendahulukan salat atas makan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga waktu salat agar tidak lewat.
Kandungan Hadis Dari hadis no. 2 di atas, bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Hadirnya makanan seperti itu bisa menjadi uzur untuk meninggalkan salat jama'ah. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa apabila hidangan makan malamnya telah disiapkan dan dia mendengar bacaan Imam dalam salat, maka dia tidak berdiri (untuk melakukan salat) sampai dia selesai makan.
b. Hal-hal selain makanan bisa dianalogikan (diqiyaskan) dengan makanan selama mempunyai ilat (sebab) yang sama yaitu apabila dia mengakhirkan melakukan sesuatu itu, hatinya menjadi terganggu ketika salat. Maka, sebaiknya melakukan sesuatu itu sebelum salat. Dan di sini yang perlu diperhatikan betul adalah bahwa sesuatu itu telah diperbolehkan secara tegas bahkan dianjurkan oleh Syara' (Allah dan Rasul-Nya). Akan tetapi, apabila sesuatu itu tidak dianjurkan oleh Syara', maka mendahulukan salat lebih baik daripada melakukan atau melanjutkan sesuatu itu. Contohnya adalah menonton sinetron, berbincang-bincang dengan kawan atau kerabatnya. Karena itu, mendahulukan salat lebih baik daripada menonton sinetron atau mengobrol lebih dahulu dengan kawan atau kerabatnya, baik waktu salat tinggal sedikit atau masih panjang. Dari Aisyah ra berkata, "saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang menoleh dalam salat?" Kemudian Rasul saw menjawab: " Menoleh itu adalah suatu keteledoran seseorang akibat ulah syetan dalam salat seorang hamba" (HR. al-Bukhari) Menurut riwayat at- Tirmidzi dan menshahihkannya: "Janganlah anda menoleh dalam salat, karena itu adalah kebinasaan (dalam agama). Apabila anda harus melakukannya, maka lakukanlah dalam salat sunnah" Seseorang yang sedang melakukan salat, dimakruhkan menoleh ke kanan dan ke kiri. Karena pada dasarnya, dia sedang menghadap Tuhannya. Sementara itu, syetan selalu mengintip dan mencari-cari kelengahan orang itu. Jika seseorang dalam salatnya menoleh ke kiri dan ke kanan, berarti dia telah masuk perangkap syetan. Menurut Jumhur Ulama', menoleh itu dimakruhkan, karena bisa mengurangi khusyu' salat. Namun, apabila menolehnya itu sampai memalingkan dadanya atau seluruh lehernya dari kiblat, maka hal itu bukan lagi makruh, melainkan bisa membatalkan salat. Hal ini berdasarkan pada hadis Abu Dzar, "Allah SWT selalu menghadap kepada seorang hamba dalam salatnya, selama dia tidak menoleh, apabila dia memalingkan wajahnya, maka Allah pun 'pergi' ." (HR. Abu Dawud dan an- Nasa'i) Sumber: Subulus Salaam, Muhammad bin Ismail as-Shan'ani
The Ridda wars (Arabic: حروب الردة), also known as the Wars of Apostasy, were a set of military campaigns against the rebellion of several Arabic tribes against the CaliphAbu Bakr during 632 and 633 AD, following the death of Muhammad. The revolts, in Islamic Historiography later interpreted as religious, were in reality mainly political However, these revolts also had a religious aspect: Medina had become the centre of a social and political system, of which religion was an integral part; consequently it was inevitable that any reaction against this system would have a religious aspect.[3]
Kafir Kafir (berasal dari bahasa Arab كافر kāfir; plural كفّار kuffār) secara harfiah berarti orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran. Dalam terminologi kultural kata ini digunakan dalam agama Islam untuk merujuk kepada non muslim atau kepada muslim yang mengingkari nikmat Allah (sebagai lawan dari kata syakir, yang berarti orang yang bersyukur).
Kata Kafir dalam Al Qur'an
Di dalam Al Qur'an, kitab suci agama islam, kata kafir dan variasinya digunakan dalam beberapa penggunaan yang berbeda [2]:
Kufur at-tauhid (Menolak tauhid): Dialamatkan kepada mereka yang menolak bahwa Tuhan itu satu. Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (Al-Baqarah ayat 6) Kufur al-ni`mah (mengingkari nikmat): Dialamatkan kepada mereka yang tidak mau bersyukur kepadaTuhan Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (la takfurun). (Al-Baqarah ayat 152)
Kufur at-tabarri (melepaskan diri) Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu (kafarna bikum)..." (Al-Mumtahanah ayat 4)
Kufur al-juhud (Mengingkari sesuatu) ..maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar (kafaru) kepadanya. (Al-Baqarah ayat 89)
Kufur at-taghtiyah (menanam/mengubur sesuatu) Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani (kuffar)(Al-Hadid 20) read more...
Fasiq is an Arabic term referring to someone who violates Islamic law. However, it is usually reserved to describe someone guilty of openly and flagrantly violating Islamic law and/or someone whose moral character is corrupt.
read more...
Finally, I've done it.
Yeahhh !!,,
making blog is not too difficult (Ha...Ha...Ha)
Huh, DBL is over, we already absolutly lost. I'm in 3rd grade senior high, so I have to prepare myself to face National Exams, I'll have been leaving basketball until SPMB.
Do you want to see my profile, don't I ? Let see it
at my profile